Deconstructing Ecological Decolonization Toward the Development of an Ecological-Spiritual Concept

Deconstructing Ecological Decolonization Toward the Development of an Ecological-Spiritual Concept

“We, the people of color … to begin to build a national and international movement of all peoples of color to fight the destruction and taking of our lands and communities, do hereby re-establish our spiritual interdependence to the sacredness of our Mother-Earth to respect and celebrate each of our cultures, languages and beliefs about the natural world and our roles in healing ourselves…” – Principles of Environmental Justice

The environment is an interdependent network of life, including humans who are part of the Earth’s life system, as explained by Fritjof Capra in his book, “The Web of Life” [1]. However, understanding of the environment in the modern era is often reduced by mechanistic and scientific paradigms, which cause a separation between humans and nature. As a result, the connections within the web of life are severed, leading to the view that nature is merely an object to be exploited, extracted, and dominated to meet human needs [2].

The exploitative management of natural resources in Indonesia is not without historical causes. Colonialism in Indonesia in the past was primarily aimed at exploiting natural resources. After independence, these colonial practices were adopted by the feudal system that had long been entrenched in Indonesia. This created groups or business entities that not only destroyed natural resources for economic gain, but also expanded inequality, marginalization, and conflict in the struggle for natural resources [3].

 

Decolonial Ecological and Reactualization of Customary Law

Building on previous issues, Malcolm Ferdinand in his book “Decolonial Ecology: Thinking from the Caribbean World” emphasizes the need to liberate the utilization of natural resources from a unilateral colonial paradigm towards a more holistic and sustainable paradigm. Ferdinand emphasizes that the liberation of natural resource management from the colonial paradigm can be achieved by reintegrating humans and nature as a single entity. In addition, natural resource management must also take into account the principles of local wisdom or customs [4].

Natural resource management based on local wisdom opens up a deeper understanding of the spiritual aspects of the relationship between humans and nature. For example, the Dayak Iban tribe views the forest as their father and the earth as their mother. Similarly, the Dayak Kanayatn tribe, with their philosophy of “Adil Ka‘ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata,” connects the values of justice, goodness, and spirituality with environmental management. This philosophy emphasizes that the environment must be managed fairly, well, and with respect for nature as a living entity [5]. For the Dayak Kanayatn community, forests are considered a manifestation of Jubata (God) who gives life to humans. Therefore, destroying forests or the environment is equivalent to hurting God who gives life. Thus, ecological decolonization based on local wisdom can restore harmony between humans, nature, and God [6].

 

REFERENCES:

[1] F. Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems. New York, NY: Anchor Books, 1996.

[2] V. Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development. London: Zed Books, 1989.

[3] T. Li, “Centering labor in the land grab debate,” Journal of Peasant Studies, vol. 38, no. 2, pp. 281–298, 2011, doi: 10.1080/03066150.2011.559009.

[4] M. Ferdinand, Decolonial Ecology: Thinking from the Caribbean World, A. P. Smith, Trans. Cambridge: Polity Press, 2022.

[5] A. Escobar, “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology,” Current Anthropology, vol. 40, no. 1, pp. 1–30, 1999, doi: 10.1086/200061.

[6] F. Berkes, Sacred Ecology, 4th ed. New York, NY: Routledge, 2017.

Perempuan sebagai Arsitek Masa Depan Peradaban

Perempuan sebagai Arsitek Masa Depan Peradaban

Ibu sosok Perempuan yang memiliki peran krusial dalam membentuk peradaban, praktik dalam keluarga yang menjadikan anak sebagai objeknya. Sejak lahir seorang anak belajar dari lingkungan terdekat dan peran yang paling dominan dalam proses ini dilakukan oleh seorang ibu[1]. Sekolah pertama di lingkungan keluarga berasal dari ibu, kurikulum yang dikembangkan melalui Pendidikan karakter atau moral sebagai pondasi dalam membentuk generasi Bangsa. Keterampilan berbicara, berjalan, pembiasaan etika yang baik dan cara berinteraksi dengan orang lain dijadikan fokus pembelajaran seorang ibu. Dengan demikian, ibu berperan sebagai pendidik yang membentuk fondasi kepribadian anak-anak mereka.

Tanpa disadari seorang perempuan yang melahirkan anak laki-laki, maka dia akan merancang, mendesain dan membentuk seorang pemimpin. Jika dia melahirkan anak perempuan maka akan mencetak estafet perubahan peradaban. Ditilik kondisi fisik perempuan lebih rapuh dibandingkan laki-laki, tetapi tidak dengan potensi jiwanya. Saat dia dipanggil seorang ibu, maka naluriah akan otomatis merespon saat keluarganya mengalami kesulitan. Sebagai manusia yang diciptakan dari tulang rusuk, dapat dianalogikan pelindung organ dalam tubuh seperti jantung, hati dan lainnya. Maka disitulah fungsi perempuan dalam keluarga yang harus melindungi dan memberikan pendidikan yang baik bagi putra-putrinya.

Wanita sangat dihargai dan dijunjung saat mampu menghasilkan materi untuk menopang perekonomian keluarga, paham inilah yang digaungkan dalam sistem kapitalisme[2]. Alhasil sistem ini mengubah pemikiran wanita, mereka bersaing dengan laki-laki untuk bekerja meninggalkan rumah sampai mengabaikan peran serta tugas sebagai seorang ibu dan istri. Konsep kesetaraan gender yang diambil dari ideologi sekuler kapitalisme, telah membius para wanita untuk bekerja dan meninggalkan peran domestik[3]. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, proporsi angkatan kerja perempuan di Indonesia mencapai 55,41% dari keseluruhan angkatan kerja. Kenaikan ini lebih signifikan dibandingkan dengan laki-laki, yang hanya meningkat sekitar 0,04%[4].

Ketika seorang ibu mengesampingkan tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anak sebagai generasi penerus peradaban, hal itu dapat menyebabkan kerusakan, kemunduran, dan kelemahan suatu negara. Suatu hal yang nampak merosotnya moral anak bangsa yang ini tentunya sangat berpengaruh pada kemajuan peradaban bangsa. Saat ibu sadar akan perannya sebagai pendidik generasi bangsa, maka seyogyanya membangun kedekatan dengan keluarga terutama anak-anaknya. Dalam Islam, perempuan memiliki kedudukan yang sangat istimewa karena mereka dianggap sebagai pilar peradaban dunia. Hal ini disebabkan oleh peran penting perempuan dalam melanjutkan generasi, serta melalui pendidikan yang mereka berikan, generasi-generasi ini dibimbing untuk mengarahkan peradaban dunia ke arah yang lebih baik.

Daftar Pustaka

[1] M. S. A. Lubis dan H. S. Harahap, “Peranan Ibu Sebagai Sekolah Pertama Bagi Anak,” J. Ilmu Pendidik., vol. 2, no. 1, hlm. 6–13, 2021.

[2] “Perempuan Tonggak Peradaban Dunia?” Diakses: 28 September 2024. [Daring]. Tersedia pada : https://www.kba.one/news/perempuan-tonggak-peradaban-dunia/index.html

[3] N. Luthfiyah, “Feminisme Islam di Indonesia,” ESENSIA J. Ilmu-Ilmu Ushuluddin, vol. 16, no. 1, hlm. 75–88, 2015.

[4] “Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, proporsi angkatan kerja perempuan di Indonesia mencapai 55,41% dari keseluruhan angkatan kerja. Kenaikan ini lebih signifikan dibandingkan dengan laki-laki, yang hanya meningkat sekitar 0,04%. – Penelusuran Google.” Diakses: 28 September 2024. [Daring]. Tersedia pada: https://www.google.com/search?q=Menurut+data+dari+Badan+Pusat+Statistik+%28BPS%29%2C+pada+Februari+2024%2C+proporsi+angkatan+kerja+perempuan+di+Indonesia+mencapai+55%2C41%25+dari+keseluruhan+angkatan+kerja.+Kenaikan+ini+lebih+signifikan+dibandingkan+dengan+laki-laki%2C+yang+hanya+meningkat+sekitar+0%2C04%25.&sca_esv=8536d3cccb765549&sca_upv=1&sxsrf=ADLYWILvUGmm_OaSENkWMuiSZ_jfi3b94g%3A1727499087598&ei=T4v3ZpqYJPez4-EP5fLRkQI&ved=0ahUKEwja-9zL6-SIAxX32TgGHWV5NCIQ4dUDCA8&uact=5&oq=Menurut+data+dari+Badan+Pusat+Statistik+%28BPS%29%2C+pada+Februari+2024%2C+proporsi+angkatan+kerja+perempuan+di+Indonesia+mencapai+55%2C41%25+dari+keseluruhan+angkatan+kerja.+Kenaikan+ini+lebih+signifikan+dibandingkan+dengan+laki-laki%2C+yang+hanya+meningkat+sekitar+0%2C04%25.&gs_lp=Egxnd3Mtd2l6LXNlcnAigwJNZW51cnV0IGRhdGEgZGFyaSBCYWRhbiBQdXNhdCBTdGF0aXN0aWsgKEJQUyksIHBhZGEgRmVicnVhcmkgMjAyNCwgcHJvcG9yc2kgYW5na2F0YW4ga2VyamEgcGVyZW1wdWFuIGRpIEluZG9uZXNpYSBtZW5jYXBhaSA1NSw0MSUgZGFyaSBrZXNlbHVydWhhbiBhbmdrYXRhbiBrZXJqYS4gS2VuYWlrYW4gaW5pIGxlYmloIHNpZ25pZmlrYW4gZGliYW5kaW5na2FuIGRlbmdhbiBsYWtpLWxha2ksIHlhbmcgaGFueWEgbWVuaW5na2F0IHNla2l0YXIgMCwwNCUuMggQABiABBiwAzILEAAYgAQYsAMYogQyCxAAGIAEGLADGKIEMgsQABiABBiwAxiiBDILEAAYgAQYsAMYogRI-BFQnAxYnAxwAXgAkAEAmAEAoAEAqgEAuAEDyAEA-AEC-AEBmAIBoAIYmAMAiAYBkAYFkgcBMaAHAA&sclient=gws-wiz-serp

Manusia adalah keegoisan dan alam adalah korban

Manusia adalah keegoisan dan alam adalah korban

“Dunia alami adalah dunia dengan keragaman dan kompleksitas yang tak terbatas, dunia multidimensi yang tidak memiliki garis lurus atau bentuk yang benar-benar teratur, di mana segala sesuatunya tidak terjadi secara berurutan, namun semuanya terjadi secara bersamaan; sebuah dunia yang mana seperti yang dikatakan fisika modern: bahkan ruang kosong pun melengkung.” – Fritjof Capra

Perkembangan industri yang semakin maju seperti dalam kenyataannya mengikis beberapa esensi kehidupan [1]. Esensi kehidupan tersebut adalah alam dan segala macam hal yang ada disekitarnya. Berdasarkan esensi kehidupan tersebut, manusia perlu menanyakan kembali esensi dari sebuah kata “ada”. Apakah “ada”nya manusia sekedar sebagai “ada”nya Descrates, yang menyatakan dengan lantang bahwa, “Cogito ergo sum” yang memiliki arti bahwa: “ketika aku berpikir maka aku ada”. Pernyataan Descrates tersebut jelas merupakan sebuah keegoisan tertinggi mahluk yang dinamakan sebagai manusia. Keegoisan tersebut merupakan hasil dari naluri primitif manusia yang dikatakan Nietzsche sebagai kehendak untuk berkuasa. Hubungan antara kehendak untuk berkuasa manusia dan “ada”nya Descrates jika dihubungkan maka menciptakan pola berpikir yang disebut sebagai antroposentrisme. Antroposentrisme adalah paham yang memandang bahwa manusia merupakan pusat dari segala sesuatu yang ada disemesta [2]. Gambaran terkait dengan antroposentrisme dapat dimunculkan dalam sebuah pertanyaan dasar, seperti: “jika ranting pohon kecil patah ditengah hutan tanpa manusia, apakah suaranya akan terdengar ?” tentu saja sebagian manusia akan menjawab, “tidak terdengar”. Jawaban tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa, “jika manusia tersebut tidak menyaksikan ataupun mendengar suara ranting tersebut patah, maka ranting tersebut tidak pernah patah dan bersuara”. Pada beberapa pertanyaan dan jawaban ini saja sudah jelas memunculkan sifat asli manusia yang egois. Keegoisan manusia kemudian berkembang menjadi sebuah kebiasaan yang destruktif, kebiasaan untuk selalu memusnahkan apapun yang ada, tidak hanya alam, manusia lain juga terkadang menjadi korban dari kebiasaan tersebut.

Kebiasaan untuk memusnahkan apapun yang ada tersebut, semakin tampak dari banyaknya pembukaan lahan secara besar-besaran dengan tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kekuatan yang saya sebut sebagai bentuk baru dari Neo Kolonialisme ini menargetkan penaklukan sumber daya alam sekaligus memarjinalisasikan gender wanita dalam segala bidang kehidupan, khususnya dalam bidang pekerjaan terhadap wanita yang kemudian memunculkan pemahaman terkait dengan kapitalisme patriarki [3]. Secara umum, keegoisan yang akhirnya merusak alam beralih menjadi keegoisan untuk mengorbankan manusia satu dan manusia lain [4]. Penaklukan atas alam dan dominasi atas alam tersebut, mencerminkan sikap manusia terhadap sesama manusia yang ingin saling menguasai dan medominasi satu sama lain.

Keegoisan manusia pada akhirnya bermuara pada lingkungan hidup yang rusak. Lingkungan hidup sebagaimana dalam frasa yunani disebut sebagai οίκος (oíkos) hanya dipahami manusia saat ini sebagai tempat tinggal atau tempat mendirikan rumah semata. Banyak dari manusia saat ini yang belum sanggup memahami arti kata tempat tinggal atau lingkungan hidup secara universal yang mana dimaksudkan sebagai semua yang ada di alam semesta dan segala interaksi yang saling mempengaruhi di antara semua bentuk kehidupan serta dengan seluruh ekosistem atau habitatnya [5]. Jadi, lingkungan hidup tidak hanya mencakup lingkungan fisik tetapi juga kehidupan yang hidup dan berkembang di dalamnya termasuk binatang, tumbuhan, air, tanah dan sebagainya. berdasarkan hal ini, maka dapat dipahami bahwa manusia pun hanya satu entitas dalam kesatuan besar (great continuum) dari keseluruhan semesta alam.

Manusia merupakan salah satu entitas paling egois, yang menganggap bahwa dirinyalah yang paling berwenang dan berkuasa atas semesta beserta se-isinya.

REFERENSI:

[1] T. Wiedmann, M. Lenzen, L. T. Keyßer, and J. K. Steinberger, “Scientists’ warning on affluence,” Nat Commun, vol. 11, no. 1, p. 3107, Jun. 2020, doi: 10.1038/s41467-020-16941-y.

[2] L. Weir, Philosophy as Practice in the Ecological Emergency: An Exploration of Urgent Matters. Cham: Springer International Publishing, 2023. doi: 10.1007/978-3-030-94391-2.

[3] R. Bahlieda, The Economic Gulag: Patriarchy, Capitalism, and Inequality. Peter Lang US, 2018. doi: 10.3726/b13333.

[4] M. Mies and V. Shiva, Ecofeminism (Critique Influence Change). New York: Zed Books, 2014.

[5] L. Bacchini and V. Saramago, Literature Beyond the Human. New York: Routledge, 2022. doi: 10.4324/9781003243991.

Transformasi Sistem Informasi Digital Dalam Bisnis: Dilema Antara Kemudahan dan Dampak Sosial-Ekonomi

Transformasi Sistem Informasi Digital Dalam Bisnis: Dilema Antara Kemudahan dan Dampak Sosial-Ekonomi

“Clearly, the thing that’s transforming is not the technology — it’s the technology that is transforming you.” — Jeanne W. Ross of MIT Sloan’s Center for Information Systems Research

Dalam era revolusi digital yang semakin membumi, transformasi sistem informasi telah menjadi katalisator utama dalam perubahan lanskap bisnis global. Kemajuan teknologi dan fenomena transformasi digital menciptakan pergeseran fundamental dalam paradigma masyarakat, terutama didorong oleh generasi digital yang menjadikan teknologi digital sebagai bagian integral dari budaya dan kehidupan sehari-hari. Digitalisasi sendiri merupakan proses konversi dari analog ke digital dengan menggunakan teknologi dan data digital dengan sistem pengoprasian otomatis dan sistem terkomputerisasi. Muhasim berpendapat bahwa perkembangan teknologi digital merupakan hasil rekayasa akal, pikiran, dan kecerdasan manusia yang tercermin dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Selanjutnya memberikan manfaat dalam segala aspek kehidupan manusia (2017). Sebagaimana diutarakan oleh Schwertner (2017), transformasi digital dalam bisnis tidak hanya mencakup implementasi teknologi untuk membangun model bisnis, proses, perangkat lunak, dan sistem baru, tetapi juga berfokus pada penciptaan pendapatan yang lebih menguntungkan, peningkatan keunggulan kompetitif, dan efisiensi yang lebih tinggi.

Perkembangan zaman ke era digital membawa manfaat bagi kehidupan manusia diantaranya membantu pekerjaan dalam membuat, mengubah, menyimpan, menyampaikan informasi dan menyebarluaskan informasi secara cepat, berkualitas, dan efisien. Menurut Fernanda (2021), manfaat dari teknologi digitalisasi Sektor perdagangan dan bisnis dinilai sangatlah penting untuk meminimalkan biaya operasional dan untuk menjangkau konsumen lebih banyak. Dengan memanfaatkan platform yang telah tersedia seperti toko online (e-commerce), para pelaku usaha dapat menjangkau konsumen yang lebih banyak dari berbagai wilayah dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

 

“Every industry and every organization will have to transform itself in the next few years. What is coming at us is bigger than the original internet, and you need to understand it, get on board with it, and figure out how to transform your business.” — Tim O’Reilly, Founder & CEO of O’Reilly Media

Munculnya sistem informasi digital membawa kemudahan yang tak terbantahkan, mengubah lanskap bisnis secara radikal. Pendekatan instan, efisiensi, dan kenyamanan menjadi tidak terelakkan dalam ekosistem bisnis yang terus berkembang. Namun, dibalik gemerlapnya inovasi ini, timbul pula dilema yang tak dapat diabaikan. Perkembangan sistem informasi yang semakin maju membawa dampak pro dan kontra terhadap pekerjaan dan berbagai sektor. Di satu sisi, kehadiran teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi operasional suatu bisnis, memberikan kemudahan akses informasi dan layanan, serta merangsang inovasi. Contohnya adalah kemudahan pembelian tiket bioskop melalui smartphone tanpa harus mengunjungi lokasi fisik bioskop. Di sisi lain, kemajuan ini juga membawa konsekuensi seperti potensi pengurangan pekerjaan, terutama di sektor pekerjaan yang dapat diotomatisasi.

Pengurangan pekerjaan dapat menimbulkan tantangan dalam pasar tenaga kerja, menciptakan kesenjangan keahlian dan meningkatkan tingkat pengangguran. Dalam dilema transformasi sistem informasi digital ini, perusahaan dan pemerintah memiliki peran penting dalam memberdayakan pekerjaan baru yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Pemberdayaan ini dapat membantu mengimbangi dampak negatif, memastikan bahwa kehadiran sistem informasi tidak hanya memberikan manfaat bagi efisiensi bisnis, tetapi juga memberikan peluang baru bagi pekerjaan yang relevan dengan pengembangan, pemeliharaan, dan manajemen sistem informasi.

Alienasi Sosial: Menjelajahi Dampak Isolasi Diri di Era Teknologi

Alienasi Sosial: Menjelajahi Dampak Isolasi Diri di Era Teknologi

“The less you eat, drink, buy books, go to the theatre or to balls, or to the pub, and the less you think, love, theorize, sing, paint, fence, etc., the more you will be able to save and the greater will become your treasure which neither moths nor rust will devour – your capital. The less you are, the less you express your own life, the more you have, the greater is your alienated life and the greater is the saving of your alienated being.” – Karl Max, “Economic and Philosophic Manuscripts” of 1844

Di tengah kemajuan teknologi, manusia menyaksikan transformasi lanskap sosial yang tak terhindarkan. Di Indonesia sendiri telah mengalami perkembangan teknologi yang begitu pesat sehingga telah mengubah secara mendasar cara berinteraksi, berkomunikasi, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat Indonesia berkomunikasi, berinteraksi, dan mengakses informasi. Dari perkembangan infrastruktur telekomunikasi hingga meledaknya penggunaan perangkat seluler dan internet, teknologi telah menjadi komponen penting dalam setiap aspek kehidupan. Smartphone, media sosial, platform pesan instan, dan berbagai aplikasi telah menjadi teman sehari-hari yang tak terpisahkan bagi banyak orang (Dinas Komunikasi Informatika, Statistik dan Persandian Provinsi Sulawesi Selatan, 2021). Mengingat kompleksitas dampak teknologi, terdapat dampak positif dan negatif dari teknologi ini, serta mengeksplorasi isu-isu yang berkaitan seperti literasi digital dan etika penggunaan teknologi. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan ini, terdapat langkah-langkah yang tepat untuk memaksimalkan manfaat dari perkembangan teknologi sambil meminimalkan risikonya (Anggraeni, Herdiani, Rustini, & Arifin, 2022).

Salah satu fenomena yang semakin merayap dalam kehidupan sehari-hari antara teknologi dan interaksi sosial adalah alienasi sosial, sebuah konsep yang memegang peran krusial dalam memahami dampak isolasi diri di era teknologi. Alienasi sosial adalah masalah kompleks dan multifaktorial yang perlu dipertimbangkan dalam konteks evolusi teknologi dan lingkungan sosial. Secara umum, alienasi dapat diartikan sebagai perasaan tidak memiliki ikatan atau koneksi yang kuat dengan orang lain atau lingkugan di sekitar. Beberapa dikutip dari para ahli menyebutkan alienasi atau keterasingan pada dasarnya merujuk pada suatu kondisi ketika manusia dijauhkan atau menjauhkan diri dari sesuatu, sesama manusia, alam, budaya, tuhan, atau bahkan dirinya sendiri. Istilah ini berasal dari kata Latin alienatio yang diderivasi dari kata kerja alienare yang berarti menjadikan sesuatu milik orang lain (Schacht, 2005) Alienasi juga sebagai konsep proses sosial biasanya dilekatkan pada aktivitas- aktivitas negatif seperti kejahatan, alkoholisme, prasangka sosial, keresahan, kenakalan remaja, penyakit jiwa, dan lain sebaginya (Paramitta, dkk, 2012). Dalam konteks teknologi digital, alienasi dapat muncul ketika semakin terhubung dengan perangkat elektronik dan kurang berinteraksi secara langsung dengan dunia nyata.

Di balik gemerlapnya inovasi teknologi, terdapat dampak yang tak dapat diabaikan. Alienasi sosial, sebagai manifestasi dari kurangnya keterlibatan langsung dengan lingkungan sekitar, menjadi tantangan nyata dalam menjaga keseimbangan kehidupan sosial. Ketika individu lebih terpaku pada layar perangkat elektroniknya, terjadi ketidakseimbangan dalam membangun hubungan antarpribadi di mana individu cenderung menjauh dari hubungan interpersonal yang nyata dan lebih memilih kenyamanan interaksi melalui layar. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga memainkan peran dalam mengubah dinamika sosial. Infrastruktur telekomunikasi yang terus berkembang telah membawa masyarakat lebih dekat dengan akses informasi, namun pada saat yang sama, memberikan celah untuk kesenjangan antara dunia maya dan dunia nyata. Smartphone yang menyertainya, media sosial yang membanjiri interaksi online, dan berbagai aplikasi telah menjadi mediator utama dalam menyusun pola hidup modern. Perubahan ini tercermin dalam cara masyarakat Indonesia, seperti di banyak negara lainnya, mengalami transformasi dalam bentuk interaksi sosial. Pergeseran dari komunikasi langsung ke interaksi virtual, meskipun memberikan kemudahan dalam menghubungkan orang jarak jauh, dapat memicu isolasi sosial di antara individu-individu yang berbagi ruang fisik yang sama. Ketika perbincangan di meja makan digantikan oleh kecanggihan perangkat di tangan, kita menjadi rentan terhadap alienasi yang tumbuh tanpa disadari.

“People talk of “social outcasts.” The words apparently denote the miserable losers of the world, the vicious ones, but I feel as though I have been a “social outcast” from the moment I was born. If ever I meet someone society has designated as an outcast, I invariably feel affection for him, an emotion which carries me away in melting tenderness.”- Osamu Dazai, No Longer Human

Untuk mengatasi tantangan alienasi sosial yang muncul dalam era teknologi, langkah-langkah perlu diambil guna membangun kembali keterlibatan sosial dan keseimbangan antara interaksi online dan kehidupan nyata. Pertama, edukasi tentang literasi digital perlu ditingkatkan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di lingkungan pendidikan. Pemahaman yang lebih baik tentang cara menggunakan teknologi secara bijak dapat membantu individu memahami dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu, perlu diterapkan kesadaran individu untuk kembali interaksi langsung di dunia nyata. Kegiatan komunitas, pertemuan sosial, dan proyek bersama dapat menjadi sarana untuk memperkuat hubungan interpersonal. Pemerintah dan lembaga terkait juga memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara teknologi dan interaksi sosial. Pendidikan mengenai dampak sosial teknologi dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah, sementara regulasi terkait penggunaan teknologi di tempat umum dapat diimplementasikan untuk mendorong interaksi langsung.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam, kesadaran akan dampak alienasi sosial di era teknologi, dan implementasi solusi-solusi tersebut, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan keterhubungan dengan sesama dan dunia nyata.

Womens’ Experience: Antara Isu Sosial ataukah Basis Pengetahuan?

Womens’ Experience: Antara Isu Sosial ataukah Basis Pengetahuan?

Di masa kini, pendiskriminasian gender tidak hanya terjadi pada perempuan saja, namun bisa juga terjadi pada laki-laki. Hanya saja prosentase perempuan sebagai korban lebih besar dibandingkan laki-laki [1]. Maraknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan seperti KDRT, pelecehan seksual dan diskriminasi gender yang berakar dari dilanggengkanya budaya patriarki di Indonesia tentunya membutuhkan respon dari berbagai kalangan. Kemendesakan akan respon tersebut juga diperlukan mengingat masih terus meningkatnya kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Peningkatan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan salah satunya bisa dilihat dari laporan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Jika melihat catatan tahunan dari Komnas Perempuan, yakni dalam laporan CATAHU, ditemukan bahwa pada tahun 2021 sampai  tahun 2022 telah terjadi peningkatan kasus yang diadukan kepada Komnas Perempuan, yakni dari 4.322 kasus pada 2021 menjadi 4.371 kasus di tahun 2022 [2]. Sehingga, rata-rata Komnas Perempuan menerima aduan sebanyak 17 kasus setiap harinya, dan tidak menutup kemungkinan di akhir tahun 2023 nantinya akan terus bertambah apabila tidak segera direspon .

Tidak hanya sekedar menjadi isu sosial yang dimaknai sebagai perkara kontroversial yang berkaitan dengan nilai dan moral [3], masalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan memiliki pengaruh kesemua anggota masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekerasan yang terjadi pada perempuan baik secara fisik maupun psikis belakangan diketahui karena permasalahan tersebut didasarkan pada penggunaan paradigma phallusentris sebagai basis dalam mengkonstruksi pengetahuan dan kebenaran. Paradigma tersebut yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap berbagai kajian termasuk kajian tentang perempuan. Kajian perempuan pada akhirnya berbasis pengetahuan dan pengalaman laki-laki, dan bukan perempuan [4].

Penggunaan pengetahuan dan pengalaman laki-laki sebagai basis epistemologis dalam kajian perempuan akan mengeliminasi pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam memberikan makna pada dirinya. Hal demikian tentu akan semakin mengafirmasi subordinasi perempuan dan memperkuat sistem superioritas laki-laki, karena produksi pengetahuan tentang perempuan yang berdasarkan relasi kuasa laki-laki [4].

Kasus kekerasan baik secara fisik maupun psikis dengan perempuan sebagai korban, tentunya hanya dialami oleh perempuan, sehingga hanya perempuan sendirilah yang bisa merasakanya dari sudut pandangnya [5]. Karena hanya perempuan yang mengelami serta memiliki pengetahuan akan apa yang dialaminya, sehingga perlu juga mendengarkan pengalaman terkait bias-bias gender yang dialami tersebut dari perspektif perempuan.

Mengapa mendengar dari perspektif perempuan dianggap penting? dikarenakan perempuan yang sebenarnya adalah korban seringkali diposisikan sebagai pelaku melalui penyelesaian hukum yang cenderung menggunakan male perspektif [6]. Sehingga perempuan semakin tersubordinat dengan sistem yang juga bias gender. Pengalaman-pengalaman buruk yang dialami perempuan baik saat mengalami kekerasan maupun pada saat penanganan tindak kekerasan, tentu menjadi suatu memori buruk bagi perempuan. Dari pengalaman buruk itu selanjutnya menjadikan perempuan semakin bungkam dan cenderung tidak berani untuk speak up [7].

Pengetahuan tentang ketakutan akan tidak didengarnya suara korban tersebut merupakan suatu yang perlu didokumentasikan. Sehingga dari pendokumentasian kasus-kasus tersebut dapat dilakukan pendalaman kasus yang pada nantinya akan lebih memberikan pemahaman yang luas terkait permasalahan gender yang sedang dihadapi. Dari pemahaman terkait kasus gender yang dihadapi pada nantinya menjadi basis pengetahuan untuk terus dikaji.

Womens’ experience tersebut tidak hanya sekedar isu sosial yang diluapkan ke permukaan publik untuk mendapatkan simpati, ataupun juga suatu partikularisme perempuan agar diakui seperti anggapan kebanyakan masyarakat. Namun pengalaman perempuan tersebut sudah seharusnya dijadikan basis pengetahuan untuk melahirkan problem solving yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi, agar permasalahan gender yang tidak ada habisnya ini bisa diselesaikan secara tuntas.

REFERENSI:

[1]      R. Elindawati, “Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di  Perguruan Tinggi,” AL-WARDAH J. Kaji. Perempuan, Gend. dan Agama, vol. 15, no. 2, pp. 181–193, Dec. 2021, doi: 10.46339/AL-WARDAH.V15I2.649.

[2]      “Komnas Perempuan Paparkan Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Selama 2022.” https://news.detik.com/berita/d-6605199/komnas-perempuan-paparkan-data-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-selama-2022 (accessed May 30, 2023).

[3]      “Isu sosial – Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.” https://ms.wikipedia.org/wiki/Isu_sosial (accessed Jun. 27, 2023).

[4]      E. Munfarida, “KRITIK WACANA SEKSUALITAS PEREMPUAN,” Yinyang J. Stud. Islam Gend. dan Anak, vol. 4, no. 1, pp. 122–139, 2009, Accessed: Jun. 27, 2023. [Online]. Available: https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/yinyang/article/view/223

[5]      B. R. Harnoko, “Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan,” Muwazah J. Kaji. Gend., vol. 2, no. 1, pp. 181–188, 2012, [Online]. Available: http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/16

[6]      A. Munasaroh, “Problematika Kekerasan Berbasis Gender Dan Pencapaian Gender Equality Dalam Sustainable Development Goals Di Indonesia,” IJouGS Indones. J. Gend. Stud., vol. 3, no. 1, pp. 1–20, Jun. 2022, Accessed: May 15, 2023. [Online]. Available: https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/ijougs/article/view/3524

[7]        N. Nikmatullah, “DEMI NAMA BAIK KAMPUS VS PERLINDUNGAN KORBAN:  KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS,” QAWWAM, vol. 14, no. 2, pp. 37–53, 2020, doi: 10.20414/QAWWAM.V14I2.2875.