Paradigma Kompromistis Penerapan Gender Dalam Keluarga

Paradigma Kompromistis Penerapan Gender Dalam Keluarga

Pembahasan mengenai gender seakan tidak pernah ada habisnya. Betapa tidak, dengan hadirnya konsep gender sejak tahun 1950an hingga sekarang ini,[1] ternyata masih banyak problem yang mengiringinya. Seakan menjadi bayang-bayang, problematika tentang gender selalu mengiringi wacana tentang kesadaran, kesetaraan dan gaungan tentang keadilan gender itu sendiri.[2] Masih banyaknya problem yang ditemui dalam pengimplementasian konsep gender itu sendiri, menimbulkan tanda tanya dan keprihatinan yang besar terhadap tantangan-tantangan yang mesti dihadapi.

Tidak hanya kalangan bawah saja yang merasakan bias-bias gender, namun bias dan ketidakadilan gender juga dirasakan perempuan yang berkarir, baik itu Hakim, Dosen, Karyawan bahkan di parlemen serta perempuan karir di sektor lainnya.[3] Salah satu pertanyaan bias gender yang dilontarkan kepada perempuan ialah: mengapa perempuan harus selalu dihadapkan pada pilihan, berkarir atau berhenti dan tinggal di rumah untuk keluarga?

Pertanyaan tersebut tentu tereduksi dari pemaknaan gender yang terjadi. Tantangan berupa ketidakadilan gender yang telah lama mengakar dan membumi di negara ini, tentu membutuhkan penanganan lewat kesadaran dari berbagai pihak. Mulai dari skala yang paling kecil yakni keluarga, masyarakat hingga pemerintah.[4] Semua pihak harus memiliki kesadaran untuk merealisasikan gender itu sendiri. Kesadaran dalam memahami dan merealisasikan gender itu sendiri perlu penyesuaian dengan porsi yang seimbang, sehingga penerapan gender akan terhindar dari konflik baru yang tidak diinginkan.

Bias-bias gender tersebut tentunya akan sangat sulit untuk diuraikan karena memang sudah sangat kusut, sehingga dalam penanganya membutuhkan waktu yang cukup lama.[5] Merobohkan bangunan dari budaya patriarki yang ada, tentu tidak bisa dilakukan secara serta merta, begitu juga dalam membangun paradigma kesadaran gender itu sendiri, tidak semudah mengedipkan mata.

Penanganan mengenai bias gender itu sendiri sebenarnya sudah direspon oleh pemerintah lewat regulasi yang ada, seperti tertuang dalam konstitusi negara Indonesia yang secara tegas mendudukan antara laki-laki dan perempuan pada hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama untuk memperoleh penghidupan yang layak.[6] Selanjutnya pada  Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga memberikan hak dan kewajiban yang setara antara suami dan isteri,[7] serta Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT yang menjadi payung hukum atas ketidakadilan yang diterima baik laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga.[8] Dalam konteks ini, jelas bahwa tidak  ada  perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta berpartisipasi di ranah publik maupun domestik. Namun dalam pengimplementasianya yang terkadang harus menjumpai berbagai masalah, terutama di ranah keluarga antara suami dan isteri.

Gender yang sejatinya dimaknai sebagai kesadaran tentang bagaimana suatu budaya menginterpretasikan perbedaan kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan, harapan, peran dan fungsi serta atribut lain yang dilekatkan pada masing-masingnya,[9] perlu diterapkan dengan adanya kompromi. Hal ini sangat diperlukan, mengingat banyak pasangan suami isteri yang ingin merealisasikan konsep gender dalam rumahtangganya, namun malah berujung pada konflik ketidaksepemahaman.

Kompromistis penerapan gender dalam keluarga bisa dimulai dengan memberikan kesadaran dan kesepemahaman mengenai konsep gender itu sendiri, selanjutnya konsep mengenai maskulinitas yang biasa dilekatkan pada laki-laki juga bisa diterapkan kepada perempuan, begitu juga konsep feminim yang biasa dilekatkan pada perempuan, juga bisa diterapkan pada laki-laki untuk mencapai keseimbangan.[10]

Ketidaksepemahaman dalam memahami konsep gender tersebut sering kali dijumpai pada relasi suami isteri. Hal demikian terjadi karena tidak adanya kesamaan dalam memahami gender.[11] Di satu sisi ketika isteri mulai tersadarkan akan hak-haknya yang selama ini terkungkung dalam subordinat dan tekanan patriarki pada akhirnya akan memberontak untuk menyuarakan hak-haknya, hal ini akan sangat kontras ketika suami tidak merespon hal tersebut dan tetap melanggengkan pola patriarki dalam pemikiranya, tentu akan terjadi perdebatan yang tak jarang berujung perceraian karena adanya pola pikir yang berbeda yang diterapkan dalam relasi rumahtangganya.[12]

Perdebatan yang terjadi pada nantinya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan,[13] makin lama semakin tertimbun jika tidak diungkapkan, hingga akhirnya problem tersebut seakan menjadi duri dalam daging yang tentu akan menyakitkan. Sehingga ketidak sepemahaman dalam memahami dan menerapkan gender dalam keluarga perlu dilakukan secara kompromistis. Kompromistis disini artinya, antara suami dan isteri harus satu pemaknaan dan pemahaman, banyaknya teori tentang gender tidak harus seluruhnya dijalankan, namun dicari yang relevan untuk diterapkan dalam rumah tangga masing-masing pasangan, misalnya menghindari pemahaman gender ekstrim atau liberal. Tujuan adanya kesepemahaman tersebut bukan untuk melemahkan konsep gender yang masih terus diperjuangkan eksistensinya, namun untuk mencapai harmonisasi relasi suami isteri dalam rumah tangga, sehingga pertanyaan pilihan yang selalu menjadi kegelisahan dan dilema perempuan sebagai isteri berupa mempertahankan atau meninggalkan karirnya demi keluarga yang “ideal” tidak lagi terus menghantui perempuan.

REFERENSI:

[1]      D. D. Vina Salviana Soedarwo, “Pengertian Gender dan Sosialisasi Gender”.

[2]      N. Syamsiah, F. Dakwah, K. Uin, and A. Makassar, “WACANA KESETARAAN GENDER,” J. SIPAKALEBBI, vol. 1, no. 3, 2014, doi: 10.24252/JSIPAKALLEBBI.V1I3.278.

[3]      “Gender dan Wanita Karir – Alifiulahtin Utaminingsih – Google Buku.” https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=uMxVDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=gender+pada+wanita+karir&ots=Y78R9vt3BD&sig=Xnsyc-WH0GBxSLZ8tobxmpDfcwU&redir_esc=y#v=onepage&q=gender pada wanita karir&f=false (accessed May 05, 2023).

[4]      D. N. Qomariah, “PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI KESETARAAN GENDER DALAM KELUARGA,” Jendela PLS J. Cendekiawan Ilm. Pendidik. Luar Sekol., vol. 4, no. 2, pp. 52–58, 2019, doi: 10.37058/JPLS.V4I2.1601.

[5]      K. MA, “REKONSTRUKSI SADAR GENDER:  MENGURAI MASALAH BEBAN GANDA (DUBLE BULDER)  WANITA KARIER DI INDONESIA,” Al-Tsaqafa  J. Ilm. Perad. Islam, vol. 14, no. 2, pp. 397–411, 2017, Accessed: May 05, 2023. [Online]. Available: https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/2007

[6]      “UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM SATU NASKAH”.

[7]      R. Indonesia, “Undang-Undang Tentang Perkawinan,” Peratur. Pemerintah Republik Indones. Nomor 26 Tahun 1985 Tentang Jalan, vol. 2003, no. 1, p. 2, 1974, [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974

[8]      “UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga [JDIH BPK RI].” https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40597/uu-no-23-tahun-2004 (accessed May 05, 2023).

[9]      I. Fatmawati, “PERNIKAHAN ANAK DI INDIA,” IJouGS Indones. J. Gend. Stud., vol. 1, no. 1, pp. 29–40, Jun. 2020, doi: 10.21154/IJOUGS.V1I1.2064.

[10]    G. Wandi and / Kafa, “REKONSTRUKSI MASKULINITAS:  MENGUAK PERAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN KESETARAAN GENDER,” Kafa`ah J. Gend. Stud., vol. 5, no. 2, pp. 239–255, Nov. 2015, Accessed: May 05, 2023. [Online]. Available: http://www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/view/110

[11]    A. A. Dosen, S. Tinggi, A. Islam, N. Iman, and P. Bogor, “Relasi Gender Dalam Membentuk Keluarga Harmoni (Upaya membentuk keluarga Bahagia),” HARKAT Media Komun. Islam Tentang Gebder dan Anak, vol. 12, no. 2, p. 2017.

[12]    I. Ulfah, “Menggugat Perkawinan: transformasi kesadaran gender Perempuan dan Implikasinya  Terhadap Tingginya Gugat Cerai di Ponorogo,” Kodifikasia, vol. 5, no. 1, pp. 1–22, Dec. 2010, doi: 10.21154/KODIFIKASIA.V5I1.751.

[13]    J. Pemikiran Islam, P. Kesetaraan Gender Dan Feminisme Amina Wadud, and C. Edi Setyawan STAI Masjid Syuhada Yogyakarta, “PEMIKIRAN KESETARAAN GENDER DAN FEMINISME AMINA WADUD TENTANG EKSISTENSI WANITA DALAM KAJIAN HUKUM KELUARGA,” Zawiyah J. Pemikir. Islam, vol. 3, no. 1, pp. 70–91, Jul. 2017, doi: 10.31332/ZJPI.V3I1.710.

Renungan Sosial: Ilusi Pilihan Perempuan

Renungan Sosial: Ilusi Pilihan Perempuan

Prolog dari stand up comedy show “Baby Cobra” dari komika Amerika Serikat yaitu Ali Wong tentang feminisme.

“Feminism is the worst thing that ever happened to women,” Wong said and continued the dismantling statement. “Our job used to be no job,” she emphasized. “We had it so good!… And then all these women had to show off and say, ‘We could do it; we could do anything!’… They ruined it for us!” The audience laughed.

Perempuan lebih dari sekedar wajah dan tubuh yang indah, mereka punya ambisi dan pemikiran yang sanggup mengubah dunia.

Gender equality is far more than just feminism. We should strive together as partners involving man and woman to encounter existing patriarchal social patterns.

Dilansir dari World Economic Forum khususnya pada Gender Gap Report di tahun 2020, isu kesetaraan gender di tempat kerja masih perlu diperjuangkan karena disimpulkan bahwa kesetaraan pendidikan bisa tertutupi 12 tahun lagi, sedangkan kesetaraan politik butuh 94,5 tahun dan kesetaraan di tempat kerja butuh 257 tahun mendatang bagi perempuan. 

Fenomena dalam dunia pekerjaan begitu keras bagi perempuan sebagaimana terdapat “glass-ceiling” antar perempuan dan laki-laki. Pada saat perempuan memutuskan untuk “menikah” dan “melahirkan” kehidupan mereka dianggap berakhir. Begitu nestapa fenomena ini, sebagaimana keputusan mempunyai anak ini adalah “keputusan bersama” sehingga seharusnya secara adil maka kehidupan “berakhir” bagi laki-laki maupun perempuan. Tetapi tidak pada laki-laki, mayoritas mereka mendapatkan simpati lebih sedangkan perempuan sebaliknya. Urusan “merawat”, “menyusui” dan pekerjaan domestik lainnya notabene dibebankan kepada perempuan, baik ibu rumah tangga maupun wanita karir. Padahal dalam kehidupan pernikahan perlu disepakati bahwa adanya pembagian peran sehingga mampu untuk menjalani kehidupan pernikahan yang harmonis.

Diskriminasi pada perempuan yang memutuskan melanjutkan kehidupan pernikahan terus berlanjut di bidang pekerjaan terutama pada isu “Cuti Melahirkan” dan “Laktasi” yang dianggap hal remeh bagi masyarakat, tentu ini bukan hal mudah. Pada saat mempunyai anak, tubuh dan mental perempuan mengalami perubahan drastis.  Pengorbanan yang besar ini selayaknya dihargai. Bagi sebagian besar yang beruntung, masih dapat menggapai cita-cita mereka. Akan tetapi berapa banyak perempuan yang mengorbankan mimpi dan pekerjaan mereka pada saat memilih untuk berkeluarga? Bagaimana nasib perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik atas “keputusan bersama” ini?

Identitas mereka dilucuti karena dalih mempertahankan “keluarga” sehingga tentu berat beban yang ditanggung oleh seorang perempuan. Masyarakat seakan melupakan bahwa perempuan mempunyai rasionalitas dan logika dalam mengurus keluarga selagi bekerja. That’s how pathetic the rooted patriarchy society is. Konstruksi masyarakat patriarkal yang sudah menggariskan jalan kehidupan standar perempuan merupakan hal ironis. Lekatnya stigma budaya patriarki masyarakat di Indonesia tentang pandangan perempuan sebagai objek masih perlu dirubah. Dibutuhkan toleransi dan edukasi pada peran perempuan sehingga mampu memudarkan “ilusi” pada pilihan perempuan pada dunia pekerjaan. Let’s empower each other!