Womens’ Experience: Antara Isu Sosial ataukah Basis Pengetahuan?

Womens’ Experience: Antara Isu Sosial ataukah Basis Pengetahuan?

Di masa kini, pendiskriminasian gender tidak hanya terjadi pada perempuan saja, namun bisa juga terjadi pada laki-laki. Hanya saja prosentase perempuan sebagai korban lebih besar dibandingkan laki-laki [1]. Maraknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan seperti KDRT, pelecehan seksual dan diskriminasi gender yang berakar dari dilanggengkanya budaya patriarki di Indonesia tentunya membutuhkan respon dari berbagai kalangan. Kemendesakan akan respon tersebut juga diperlukan mengingat masih terus meningkatnya kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Peningkatan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan salah satunya bisa dilihat dari laporan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Jika melihat catatan tahunan dari Komnas Perempuan, yakni dalam laporan CATAHU, ditemukan bahwa pada tahun 2021 sampai  tahun 2022 telah terjadi peningkatan kasus yang diadukan kepada Komnas Perempuan, yakni dari 4.322 kasus pada 2021 menjadi 4.371 kasus di tahun 2022 [2]. Sehingga, rata-rata Komnas Perempuan menerima aduan sebanyak 17 kasus setiap harinya, dan tidak menutup kemungkinan di akhir tahun 2023 nantinya akan terus bertambah apabila tidak segera direspon .

Tidak hanya sekedar menjadi isu sosial yang dimaknai sebagai perkara kontroversial yang berkaitan dengan nilai dan moral [3], masalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan memiliki pengaruh kesemua anggota masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekerasan yang terjadi pada perempuan baik secara fisik maupun psikis belakangan diketahui karena permasalahan tersebut didasarkan pada penggunaan paradigma phallusentris sebagai basis dalam mengkonstruksi pengetahuan dan kebenaran. Paradigma tersebut yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap berbagai kajian termasuk kajian tentang perempuan. Kajian perempuan pada akhirnya berbasis pengetahuan dan pengalaman laki-laki, dan bukan perempuan [4].

Penggunaan pengetahuan dan pengalaman laki-laki sebagai basis epistemologis dalam kajian perempuan akan mengeliminasi pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam memberikan makna pada dirinya. Hal demikian tentu akan semakin mengafirmasi subordinasi perempuan dan memperkuat sistem superioritas laki-laki, karena produksi pengetahuan tentang perempuan yang berdasarkan relasi kuasa laki-laki [4].

Kasus kekerasan baik secara fisik maupun psikis dengan perempuan sebagai korban, tentunya hanya dialami oleh perempuan, sehingga hanya perempuan sendirilah yang bisa merasakanya dari sudut pandangnya [5]. Karena hanya perempuan yang mengelami serta memiliki pengetahuan akan apa yang dialaminya, sehingga perlu juga mendengarkan pengalaman terkait bias-bias gender yang dialami tersebut dari perspektif perempuan.

Mengapa mendengar dari perspektif perempuan dianggap penting? dikarenakan perempuan yang sebenarnya adalah korban seringkali diposisikan sebagai pelaku melalui penyelesaian hukum yang cenderung menggunakan male perspektif [6]. Sehingga perempuan semakin tersubordinat dengan sistem yang juga bias gender. Pengalaman-pengalaman buruk yang dialami perempuan baik saat mengalami kekerasan maupun pada saat penanganan tindak kekerasan, tentu menjadi suatu memori buruk bagi perempuan. Dari pengalaman buruk itu selanjutnya menjadikan perempuan semakin bungkam dan cenderung tidak berani untuk speak up [7].

Pengetahuan tentang ketakutan akan tidak didengarnya suara korban tersebut merupakan suatu yang perlu didokumentasikan. Sehingga dari pendokumentasian kasus-kasus tersebut dapat dilakukan pendalaman kasus yang pada nantinya akan lebih memberikan pemahaman yang luas terkait permasalahan gender yang sedang dihadapi. Dari pemahaman terkait kasus gender yang dihadapi pada nantinya menjadi basis pengetahuan untuk terus dikaji.

Womens’ experience tersebut tidak hanya sekedar isu sosial yang diluapkan ke permukaan publik untuk mendapatkan simpati, ataupun juga suatu partikularisme perempuan agar diakui seperti anggapan kebanyakan masyarakat. Namun pengalaman perempuan tersebut sudah seharusnya dijadikan basis pengetahuan untuk melahirkan problem solving yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi, agar permasalahan gender yang tidak ada habisnya ini bisa diselesaikan secara tuntas.

REFERENSI:

[1]      R. Elindawati, “Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di  Perguruan Tinggi,” AL-WARDAH J. Kaji. Perempuan, Gend. dan Agama, vol. 15, no. 2, pp. 181–193, Dec. 2021, doi: 10.46339/AL-WARDAH.V15I2.649.

[2]      “Komnas Perempuan Paparkan Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Selama 2022.” https://news.detik.com/berita/d-6605199/komnas-perempuan-paparkan-data-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-selama-2022 (accessed May 30, 2023).

[3]      “Isu sosial – Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.” https://ms.wikipedia.org/wiki/Isu_sosial (accessed Jun. 27, 2023).

[4]      E. Munfarida, “KRITIK WACANA SEKSUALITAS PEREMPUAN,” Yinyang J. Stud. Islam Gend. dan Anak, vol. 4, no. 1, pp. 122–139, 2009, Accessed: Jun. 27, 2023. [Online]. Available: https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/yinyang/article/view/223

[5]      B. R. Harnoko, “Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan,” Muwazah J. Kaji. Gend., vol. 2, no. 1, pp. 181–188, 2012, [Online]. Available: http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/16

[6]      A. Munasaroh, “Problematika Kekerasan Berbasis Gender Dan Pencapaian Gender Equality Dalam Sustainable Development Goals Di Indonesia,” IJouGS Indones. J. Gend. Stud., vol. 3, no. 1, pp. 1–20, Jun. 2022, Accessed: May 15, 2023. [Online]. Available: https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/ijougs/article/view/3524

[7]        N. Nikmatullah, “DEMI NAMA BAIK KAMPUS VS PERLINDUNGAN KORBAN:  KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS,” QAWWAM, vol. 14, no. 2, pp. 37–53, 2020, doi: 10.20414/QAWWAM.V14I2.2875.

Paradigma Kompromistis Penerapan Gender Dalam Keluarga

Paradigma Kompromistis Penerapan Gender Dalam Keluarga

Pembahasan mengenai gender seakan tidak pernah ada habisnya. Betapa tidak, dengan hadirnya konsep gender sejak tahun 1950an hingga sekarang ini,[1] ternyata masih banyak problem yang mengiringinya. Seakan menjadi bayang-bayang, problematika tentang gender selalu mengiringi wacana tentang kesadaran, kesetaraan dan gaungan tentang keadilan gender itu sendiri.[2] Masih banyaknya problem yang ditemui dalam pengimplementasian konsep gender itu sendiri, menimbulkan tanda tanya dan keprihatinan yang besar terhadap tantangan-tantangan yang mesti dihadapi.

Tidak hanya kalangan bawah saja yang merasakan bias-bias gender, namun bias dan ketidakadilan gender juga dirasakan perempuan yang berkarir, baik itu Hakim, Dosen, Karyawan bahkan di parlemen serta perempuan karir di sektor lainnya.[3] Salah satu pertanyaan bias gender yang dilontarkan kepada perempuan ialah: mengapa perempuan harus selalu dihadapkan pada pilihan, berkarir atau berhenti dan tinggal di rumah untuk keluarga?

Pertanyaan tersebut tentu tereduksi dari pemaknaan gender yang terjadi. Tantangan berupa ketidakadilan gender yang telah lama mengakar dan membumi di negara ini, tentu membutuhkan penanganan lewat kesadaran dari berbagai pihak. Mulai dari skala yang paling kecil yakni keluarga, masyarakat hingga pemerintah.[4] Semua pihak harus memiliki kesadaran untuk merealisasikan gender itu sendiri. Kesadaran dalam memahami dan merealisasikan gender itu sendiri perlu penyesuaian dengan porsi yang seimbang, sehingga penerapan gender akan terhindar dari konflik baru yang tidak diinginkan.

Bias-bias gender tersebut tentunya akan sangat sulit untuk diuraikan karena memang sudah sangat kusut, sehingga dalam penanganya membutuhkan waktu yang cukup lama.[5] Merobohkan bangunan dari budaya patriarki yang ada, tentu tidak bisa dilakukan secara serta merta, begitu juga dalam membangun paradigma kesadaran gender itu sendiri, tidak semudah mengedipkan mata.

Penanganan mengenai bias gender itu sendiri sebenarnya sudah direspon oleh pemerintah lewat regulasi yang ada, seperti tertuang dalam konstitusi negara Indonesia yang secara tegas mendudukan antara laki-laki dan perempuan pada hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama untuk memperoleh penghidupan yang layak.[6] Selanjutnya pada  Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga memberikan hak dan kewajiban yang setara antara suami dan isteri,[7] serta Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT yang menjadi payung hukum atas ketidakadilan yang diterima baik laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga.[8] Dalam konteks ini, jelas bahwa tidak  ada  perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta berpartisipasi di ranah publik maupun domestik. Namun dalam pengimplementasianya yang terkadang harus menjumpai berbagai masalah, terutama di ranah keluarga antara suami dan isteri.

Gender yang sejatinya dimaknai sebagai kesadaran tentang bagaimana suatu budaya menginterpretasikan perbedaan kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan, harapan, peran dan fungsi serta atribut lain yang dilekatkan pada masing-masingnya,[9] perlu diterapkan dengan adanya kompromi. Hal ini sangat diperlukan, mengingat banyak pasangan suami isteri yang ingin merealisasikan konsep gender dalam rumahtangganya, namun malah berujung pada konflik ketidaksepemahaman.

Kompromistis penerapan gender dalam keluarga bisa dimulai dengan memberikan kesadaran dan kesepemahaman mengenai konsep gender itu sendiri, selanjutnya konsep mengenai maskulinitas yang biasa dilekatkan pada laki-laki juga bisa diterapkan kepada perempuan, begitu juga konsep feminim yang biasa dilekatkan pada perempuan, juga bisa diterapkan pada laki-laki untuk mencapai keseimbangan.[10]

Ketidaksepemahaman dalam memahami konsep gender tersebut sering kali dijumpai pada relasi suami isteri. Hal demikian terjadi karena tidak adanya kesamaan dalam memahami gender.[11] Di satu sisi ketika isteri mulai tersadarkan akan hak-haknya yang selama ini terkungkung dalam subordinat dan tekanan patriarki pada akhirnya akan memberontak untuk menyuarakan hak-haknya, hal ini akan sangat kontras ketika suami tidak merespon hal tersebut dan tetap melanggengkan pola patriarki dalam pemikiranya, tentu akan terjadi perdebatan yang tak jarang berujung perceraian karena adanya pola pikir yang berbeda yang diterapkan dalam relasi rumahtangganya.[12]

Perdebatan yang terjadi pada nantinya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan,[13] makin lama semakin tertimbun jika tidak diungkapkan, hingga akhirnya problem tersebut seakan menjadi duri dalam daging yang tentu akan menyakitkan. Sehingga ketidak sepemahaman dalam memahami dan menerapkan gender dalam keluarga perlu dilakukan secara kompromistis. Kompromistis disini artinya, antara suami dan isteri harus satu pemaknaan dan pemahaman, banyaknya teori tentang gender tidak harus seluruhnya dijalankan, namun dicari yang relevan untuk diterapkan dalam rumah tangga masing-masing pasangan, misalnya menghindari pemahaman gender ekstrim atau liberal. Tujuan adanya kesepemahaman tersebut bukan untuk melemahkan konsep gender yang masih terus diperjuangkan eksistensinya, namun untuk mencapai harmonisasi relasi suami isteri dalam rumah tangga, sehingga pertanyaan pilihan yang selalu menjadi kegelisahan dan dilema perempuan sebagai isteri berupa mempertahankan atau meninggalkan karirnya demi keluarga yang “ideal” tidak lagi terus menghantui perempuan.

REFERENSI:

[1]      D. D. Vina Salviana Soedarwo, “Pengertian Gender dan Sosialisasi Gender”.

[2]      N. Syamsiah, F. Dakwah, K. Uin, and A. Makassar, “WACANA KESETARAAN GENDER,” J. SIPAKALEBBI, vol. 1, no. 3, 2014, doi: 10.24252/JSIPAKALLEBBI.V1I3.278.

[3]      “Gender dan Wanita Karir – Alifiulahtin Utaminingsih – Google Buku.” https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=uMxVDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=gender+pada+wanita+karir&ots=Y78R9vt3BD&sig=Xnsyc-WH0GBxSLZ8tobxmpDfcwU&redir_esc=y#v=onepage&q=gender pada wanita karir&f=false (accessed May 05, 2023).

[4]      D. N. Qomariah, “PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI KESETARAAN GENDER DALAM KELUARGA,” Jendela PLS J. Cendekiawan Ilm. Pendidik. Luar Sekol., vol. 4, no. 2, pp. 52–58, 2019, doi: 10.37058/JPLS.V4I2.1601.

[5]      K. MA, “REKONSTRUKSI SADAR GENDER:  MENGURAI MASALAH BEBAN GANDA (DUBLE BULDER)  WANITA KARIER DI INDONESIA,” Al-Tsaqafa  J. Ilm. Perad. Islam, vol. 14, no. 2, pp. 397–411, 2017, Accessed: May 05, 2023. [Online]. Available: https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/2007

[6]      “UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM SATU NASKAH”.

[7]      R. Indonesia, “Undang-Undang Tentang Perkawinan,” Peratur. Pemerintah Republik Indones. Nomor 26 Tahun 1985 Tentang Jalan, vol. 2003, no. 1, p. 2, 1974, [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974

[8]      “UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga [JDIH BPK RI].” https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40597/uu-no-23-tahun-2004 (accessed May 05, 2023).

[9]      I. Fatmawati, “PERNIKAHAN ANAK DI INDIA,” IJouGS Indones. J. Gend. Stud., vol. 1, no. 1, pp. 29–40, Jun. 2020, doi: 10.21154/IJOUGS.V1I1.2064.

[10]    G. Wandi and / Kafa, “REKONSTRUKSI MASKULINITAS:  MENGUAK PERAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN KESETARAAN GENDER,” Kafa`ah J. Gend. Stud., vol. 5, no. 2, pp. 239–255, Nov. 2015, Accessed: May 05, 2023. [Online]. Available: http://www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/view/110

[11]    A. A. Dosen, S. Tinggi, A. Islam, N. Iman, and P. Bogor, “Relasi Gender Dalam Membentuk Keluarga Harmoni (Upaya membentuk keluarga Bahagia),” HARKAT Media Komun. Islam Tentang Gebder dan Anak, vol. 12, no. 2, p. 2017.

[12]    I. Ulfah, “Menggugat Perkawinan: transformasi kesadaran gender Perempuan dan Implikasinya  Terhadap Tingginya Gugat Cerai di Ponorogo,” Kodifikasia, vol. 5, no. 1, pp. 1–22, Dec. 2010, doi: 10.21154/KODIFIKASIA.V5I1.751.

[13]    J. Pemikiran Islam, P. Kesetaraan Gender Dan Feminisme Amina Wadud, and C. Edi Setyawan STAI Masjid Syuhada Yogyakarta, “PEMIKIRAN KESETARAAN GENDER DAN FEMINISME AMINA WADUD TENTANG EKSISTENSI WANITA DALAM KAJIAN HUKUM KELUARGA,” Zawiyah J. Pemikir. Islam, vol. 3, no. 1, pp. 70–91, Jul. 2017, doi: 10.31332/ZJPI.V3I1.710.