Renungan Sosial: Ilusi Pilihan Perempuan

Renungan Sosial: Ilusi Pilihan Perempuan

Prolog dari stand up comedy show “Baby Cobra” dari komika Amerika Serikat yaitu Ali Wong tentang feminisme.

“Feminism is the worst thing that ever happened to women,” Wong said and continued the dismantling statement. “Our job used to be no job,” she emphasized. “We had it so good!… And then all these women had to show off and say, ‘We could do it; we could do anything!’… They ruined it for us!” The audience laughed.

Perempuan lebih dari sekedar wajah dan tubuh yang indah, mereka punya ambisi dan pemikiran yang sanggup mengubah dunia.

Gender equality is far more than just feminism. We should strive together as partners involving man and woman to encounter existing patriarchal social patterns.

Dilansir dari World Economic Forum khususnya pada Gender Gap Report di tahun 2020, isu kesetaraan gender di tempat kerja masih perlu diperjuangkan karena disimpulkan bahwa kesetaraan pendidikan bisa tertutupi 12 tahun lagi, sedangkan kesetaraan politik butuh 94,5 tahun dan kesetaraan di tempat kerja butuh 257 tahun mendatang bagi perempuan. 

Fenomena dalam dunia pekerjaan begitu keras bagi perempuan sebagaimana terdapat “glass-ceiling” antar perempuan dan laki-laki. Pada saat perempuan memutuskan untuk “menikah” dan “melahirkan” kehidupan mereka dianggap berakhir. Begitu nestapa fenomena ini, sebagaimana keputusan mempunyai anak ini adalah “keputusan bersama” sehingga seharusnya secara adil maka kehidupan “berakhir” bagi laki-laki maupun perempuan. Tetapi tidak pada laki-laki, mayoritas mereka mendapatkan simpati lebih sedangkan perempuan sebaliknya. Urusan “merawat”, “menyusui” dan pekerjaan domestik lainnya notabene dibebankan kepada perempuan, baik ibu rumah tangga maupun wanita karir. Padahal dalam kehidupan pernikahan perlu disepakati bahwa adanya pembagian peran sehingga mampu untuk menjalani kehidupan pernikahan yang harmonis.

Diskriminasi pada perempuan yang memutuskan melanjutkan kehidupan pernikahan terus berlanjut di bidang pekerjaan terutama pada isu “Cuti Melahirkan” dan “Laktasi” yang dianggap hal remeh bagi masyarakat, tentu ini bukan hal mudah. Pada saat mempunyai anak, tubuh dan mental perempuan mengalami perubahan drastis.  Pengorbanan yang besar ini selayaknya dihargai. Bagi sebagian besar yang beruntung, masih dapat menggapai cita-cita mereka. Akan tetapi berapa banyak perempuan yang mengorbankan mimpi dan pekerjaan mereka pada saat memilih untuk berkeluarga? Bagaimana nasib perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik atas “keputusan bersama” ini?

Identitas mereka dilucuti karena dalih mempertahankan “keluarga” sehingga tentu berat beban yang ditanggung oleh seorang perempuan. Masyarakat seakan melupakan bahwa perempuan mempunyai rasionalitas dan logika dalam mengurus keluarga selagi bekerja. That’s how pathetic the rooted patriarchy society is. Konstruksi masyarakat patriarkal yang sudah menggariskan jalan kehidupan standar perempuan merupakan hal ironis. Lekatnya stigma budaya patriarki masyarakat di Indonesia tentang pandangan perempuan sebagai objek masih perlu dirubah. Dibutuhkan toleransi dan edukasi pada peran perempuan sehingga mampu memudarkan “ilusi” pada pilihan perempuan pada dunia pekerjaan. Let’s empower each other!

 

Refleksi Diri: Mentalitas Sekolah dan Kerja

Refleksi Diri: Mentalitas Sekolah dan Kerja

Sistem ranking di sekolah menimbulkan polemik, ibarat disatu sisi siswa mendapatkan apresiasi dan motivasi atas nilai tinggi yang diperoleh namun pada tingkat karakter individu tentu akan menanamkan mental egoisme tanpa syarat. Namun, di sisi lain, siswa yang meraih nilai rendah akan merasa rendah diri dan mungkin merasa tidak dihargai, yang dapat memengaruhi motivasi dan kepercayaan diri mereka. Selain itu, fokus utama permasalahannya ialah sistem ranking terkadang dapat memunculkan persaingan yang berlebihan di antara siswa, yang mungkin mengakibatkan kerja sama yang buruk dan kurangnya rasa persaudaraan di antara mereka. Apabila tetap dipertahankan maka mental anak sekolah akan terbawa ke dunia kerja, dimana semua orang yang unggul dianggap kompetitor karena adanya sistem ranking. Lantas, bagaimana mau mewujudkan budaya kolaborasi?

“Sekolah ≠ Kerja”

“Bersaing lah dengan cara sehat dan profesional”

Bahkan seharusnya mentalitas dan mindset ini sudah pudar dari perkuliahan jenjang S1 karena adanya sistem IPK atau GPA. Therefore, it’s strange that people still compete in unhealthy way at workplace.

Perlu diingat, bahwa sejak menempuh jenjang perkuliahan kita sudah ditanamkan paham individualis. Berjuang secara mandiri untuk mendapatkan hasil yang diinginkan semua tergantung usaha, doa dan keberuntungan masing-masing pribadi. Namun, dalam kehidupan nyata, kesuksesan seringkali tidak dapat dicapai melalui usaha mandiri semata. Banyak faktor lain seperti dukungan keluarga, lingkungan yang mendukung, dan jaringan sosial yang kuat juga berperan penting dalam mencapai kesuksesan. Oleh karena itu, selain memperkuat kemampuan individual, kita juga perlu belajar bekerja sama dengan orang lain dan membangun hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar. Dengan demikian, kita dapat memperluas peluang dan memaksimalkan potensi kita untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar.

Selain itu, konsep “kolaborasi” dan “kohesivitas” pada dunia kerja perlu dioptimalkan sebagai solusi. Dikarenakan pertukaran ilmu maupun pengalaman pada setiap individu memerlukan interaksi antar kelompok, sehingga mampu meminimalisir iklim kompetitif organisasi yang negatif.

Tapi sudut pandang terbaik saat melihat orang yang “berprestasi” adalah merendah. Mari kita telusuri faktor keberhasilan orang tersebut. Learn by ourselves. Ciptakan caramu sendiri. Let’s support each other. Mari ciptakan lingkungan kerja yang harmonis.