
Memahami Sang Adi Manusia: Menerobos Batasan-Batasan yang Ada

“Akan datang suatu masa manusia tidak akan lagi melahirkan bintang. Akan datang manusia yang paling dibenci, yang tidak dapat membenci dirinya lagi. Lihat! Aku tunjukan padamu Manusia Purna. Apakah Cinta? Apakah Penciptaan? Apakah Hasrat? Apakah Bintang?, Demikianlah Manusia Purna bertanya dan mengedipkan matanya. Bumi pun sudah jadi kecil di atasnya melompat-lompat Manusia Purna, yang menjadikan segalanya kecil. Keturunannya tidak dapat dimusnahkan seperti kutu tanah; Manusia Purna hidupnya paling lama. Kami telah temukan bahagia, kata orang-orang yang mengedipkan matanya.” – Friedrich Nietzsche
Pada masa ini, manusia telah hidup dalam dunia yang penuh dengan batasan sosial, budaya, dan moral [1], adapun sejatinya manusia memiliki kemampuan untuk menerobos batasan-batasan tersebut dan senantiasa berjalan menuju potensi diri yang lebih tinggi. Konsep Übermensch atau “Adi Manusia” yang diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche mengajarkan kita untuk mengambil tantangan dalam mencapai kebangkitan diri yang lebih tinggi dari kondisi terbatas yang kita hadapi.
Übermensch atau “Adi Manusia” adalah konsep utama dalam filsafat Nietzsche yang menggambarkan manusia yang mampu melepas diri dari keterbelengguan batasan-batasan yang ada dan mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi [2]. Dalam pandangan Nietzsche, manusia tidaklah sekadar menerima apa yang diberikan dunia dengan pasif, melainkan manusia adalah makhluk yang mampu mengubah dunia dan menciptakan arti bagi kehidupannya sendiri. Selain hal tersebut, Nietzsche memberikan citra terkait dengan Ubermensch, yang menurutnya adalah sebuah personifikasi kemungkinan manusia untuk mengatasi masalah kualitas “rata-rata” [3].
Didalam karya Nietzsche yang berjudul “Sabda Zarathustra” atau terbitan asli yang berjudul “Also sprach Zarathustra”, Sang Zarathustra yang digambarkan menggambarkan figur Adi Manusia ini kemudian mengingatkan, bahwa “manusia punya potensi melampaui kekerdilannya, untuk kreatif dan berani dalam hidup yang tak punya desain yang pasti. Manusia bisa membuka jalan baru, karena ada jiwa yang memiliki tangga yang terpanjang dan bisa turun yang terdalam, jiwa yang paling besar ruangnya, yang bisa lari dan tersesat dan menggembara paling jauh ke dalam dirinya” [4]. Perlu dipahami bahwa Nietzsche juga telah menjelaskan didalam bukunya tersebut, bahwa Sang Adi Manusia ini bukanlah bentuk evolusi maupun bentuk yang lebih luhur dari puncak evolusi tertinggi manusia [5], sebab jika benar maka hal tersebut akan mencapai tahap akhir dari sebuah proses, sebuah konsep yang paling dibencinya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa Adi Manusia merupakan sebuah proses untuk terus men-jadi, dalam bahasa inggrisnya ialah becoming, atau dalam bahasa jermannya ialah Werden. Penekanan terhadap kata men-jadi ini melambangkan sebuah progress. Menurut Nietzsche, manusia haruslah selalu melampaui, mengikuti gerak laut yang pasang, atau perjalanan dari cacing hingga manusia, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, hanya manusialah yang dapat melanjutkan hidup dengan melampaui hal-hal yang membatasinya jika ada kekuatan aktif dalam dirinya, untuk terus men-jadi.
Namun, untuk berjalan ke arah terus men-jadi tersebut, Nietzsche mengajarkan bahwa manusia haruslah berani menerobos batasan-batasan yang ada. Sebagai contoh, batasan moral yang dianggap sebagai standar perilaku yang wajib diikuti oleh masyarakat. Nietzsche menegaskan bahwa moralitas hanya merupakan konstruksi sosial belaka, dan manusia harus mampu melepaskan diri dari moralitas tersebut agar dapat mencapai kebebasan sejati.
Selain itu, Nietzsche juga menekankan pentingnya manusia untuk menerima kegelapan dalam diri mereka. Menurutnya, kegelapan adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia, dan hanya dengan menerima kegelapan tersebut manusia dapat mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Dalam pandangan Nietzsche, kegelapan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau ditolak, melainkan harus diterima dan dimanfaatkan untuk mencapai kebangkitan diri yang lebih tinggi.
Namun, perlu diingat bahwa konsep Übermensch tidaklah mengajarkan untuk menjadi individualis yang egois dan mengesampingkan kepentingan orang lain. Sebaliknya, Nietzsche menekankan pentingnya manusia untuk menciptakan arti bagi kehidupannya sendiri dan membantu orang lain untuk menemukan arti hidup mereka yang sesuai dengan kemampuan, nilai, dan keinginan mereka.
Dalam masyarakat yang serba terbatas dan terkekang oleh batasan-batasan yang ada, konsep Übermensch dapat dijadikan sebagai pendorong untuk mencapai kebebasan sejati. Dalam mencapai kebebasan tersebut, manusia harus berani menerobos batasan-batasan yang ada dan menghadapi kegelapan dalam diri mereka sendiri. Dengan melakukan hal tersebut, manusia dapat terus berproses ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan menjadi “Sang Adi Manusia” yang mampu menciptakan arti bagi kehidupan bagi diri sendiri maupun untuk orang lain.
REFERENSI:
[1] H. A. Wafi and U. W. Firdausiyah, “Konsep Kebebasan Kehendak Manusia Sebagai Penentu Hidup Sosial: Studi Analisis Pemikiran Friedrich Nietzsche,” Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, vol. 22, no. 1, pp. 103–120, Mar. 2022, doi: 10.14421/ref.2022.2201-05.
[2] L. P. S. Pradnyayanti and D. M. A. I. Safira, “Kehendak Untuk Berkuasa Dan Manusia Unggul Dalam Perspektif Friedrich Nietzche,” VIDYA DARŚAN, vol. 2, no. 2, pp. 143–150, 2021, doi: 10.55115/vidyadarsan.v2i2.1400.
[3] F. Nietzsche, Zarathustra Terjemahan H.B. Jassin, dkk. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.
[4] F. Nietzsche, Syahwat Keabadian. Yogyakarta: Diva Press, 2020.
[5] C. Botha, “Nietzsche and evolutionary theory,” Phronimon, vol. 3, no. 1, pp. 1–21, 2001.