
Apakah AI Menggantikan Kepakaran Manusia? Kajian Terhadap Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols

Agustinus Astono
Agustinus Astono is a lecturer at the Faculty of Law, Panca Bhakti University. He specializes in customary law, environmental law, and cybercrime law. In addition to his teaching role, he is also a skilled writer and researcher. He has written several research papers and articles on legal matters, demonstrating his expertise in the field. Through his teaching and research, he has always aimed to contribute to society significantly.

“ini adalah masa-masa yang sangat berbahaya. Belum pernah begitu banyak orang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apapun.” – Tom Nichols
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat pada abad ini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin banyak dan berperan besar dalam berbagai bidang kemanusiaan. Meskipun AI telah memberikan banyak kemudahan maupun manfaat bagi kehidupan manusia, muncul pertanyaan apakah AI dapat menggantikan kepakaran manusia dalam beberapa bidang tertentu ?
Berdasarkan buku Tom Nichols yang berjudul “Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang telah Mapan dan Mudaratnya”, dikemukakan sebuah pandangan, bahwa akan muncul era di mana keahlian dan kepakaran manusia akan kurang dihargai. Berdasarkan buku tersebut, masyarakat semakin tidak menghargai keahlian dan kepakaran karena mereka merasa bahwa informasi dan pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah melalui internet dan dibantu oleh AI.
Informasi dan pengetahuan yang semakin mudah ditemukan melalui internet, kemudian ditambah munculnya AI yang tentu saja semakin memudahkan manusia dalam berseluncur dan bahkan menjawab soal-soal ujiannya, menganalisis segala situasi, maupun menjawab segala permasalahannya yang ada, hal ini tentunya dapat menjadi boomerang bagi manusia itu sendiri. Lebih menakutkannya lagi, akhir-akhir ini kecerdasan buatan (AI) digunakan sebagai sarana penemuan ide oleh beberapa manusia yang menginginkan gagasan “instan” dalam membuat ataupun menganalisis kajian ilmiah. Seminar-seminar maupun workshop ilmiah diselenggarakan oleh beberapa ahli, terkait dengan “mudahnya” menemukan gagasan yang instan, komunitas-komunitas akademik menggunakan ROBOT sebagai roda penggerakan pengkajian ilmiah yang semestinya intuitif, kreatif, maupun inovatif.
Artificial Intelligence maupun internet pada dasarnya digunakan hanya sebagai “pembantu” manusia dalam beberapa bidang yang mudah untuk dikerjakan, dan tidak sepenuhnya dapat diberikan tanggung jawab menjadi “penggagas” utama ide yang intuitif dan kreatif seperti yang dihasilkan oleh pemikiran manusia. Dalam hal ini, AI hanya “Secondary Mind”, bukanlah “Primary Mind” didalam kerangka logis dan kompleks pemikiran manusia. Berdasarkan hal tersebut, diselaraskan dengan pendapat Tom Nichols terkait dengan teknologi seperti AI yang berkembang sekarang dapat menjadi landasan Hukum Pommer, yaitu AI hanya dapat mengubah pemikiran seseorang dari “tidak memiliki pendapat”, menjadi “memiliki pendapat yang salah”. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi harus disertai dengan pemahaman dan penilaian manusia yang tepat agar tidak menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Adapun misalnya dalam bidang kedokteran, meskipun AI dapat membantu dalam mendiagnosis penyakit, tetapi untuk memahami konteks dan situasi individu pasien, keahlian dan kepekaan dokter yang merupakan seorang manusia masih tidak tergantikan. Begitu juga dalam bidang hukum, meskipun AI dapat membantu dalam analisis data dan penelitian hukum, tetapi untuk mempertimbangkan faktor-faktor subjektif seperti moralitas dan etika, keahlian dan kepekaan pengacara manusia masih sangat diperlukan.
Berdasarkan hal yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa AI hanya sebagai sarana pembantu manusia dan kepakaran manusialah yang dibutuhkan untuk menggunakan AI secara benar dan bertanggung jawab. Dalam artian, penggunaan terhadap AI haruslah bersamaan dengan kemampuan manusia yang telah terlatih meriset dalam menggunakannya. Kemampuan meriset tersebut menurut Tom Nichols haruslah pertama-tama dengan belajar membaca beberapa buku, hingga pergi ke perpustakaan, atau seminimal mungkin bertanya terkait dengan referensi-referensi buku yang valid dari pustawakan. Meskipun dalam alam pikiran kita yang telah terbiasa menggunakan teknologi hal tersebut cukup kuno, tetapi hal yang kuno ini masih tetap menjadi landasan yang berfungsi sebagai langkah awal menuju lautan informasi dan pengetahuan yang valid.
Artificial Intelligence (AI) bukanlah sarana yang diperlukan untuk ditakuti, akan tetapi dikuasai secara bertanggung jawab. Perlu di ingat, yang menjadi permasalahan penggunaan AI yang Instan adalah dari kata “Instan” itu sendiri. Oleh sebab itu, bagi mereka yang tidak bertanggung jawab dalam penggunaan AI akan merubah cara membaca, menjelaskan, bahkan cara berpikirnya menjadi lebih buruk. Orang-orang tersebut hanya akan mengharapkan informasi yang lebih cepat, informasi yang sudah tepotong-potong, disajikan dengan cara yang menyenangkan dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Hal tersebut, akhirnya menimbulkan banjir disinformasi, yang membawa dampak lebih buruk dibandingkan dari orang-orang yang tidak tahu sama sekali.
Gagasan dalam tulisan ini merupakan hasil pemikiran subyektif, sehingga pro dan kontra pasti akan terjadi didalam proses penyimpulan didalam alam pemikiran para pembaca, sehingga kesimpulan akhir diberikan kepada para pembaca untuk menginterpretasikannya. Terlepas dari benar dan salah marilah kita terus mengkaji dengan gagasan-gagasan inovatif dan kreatif, bukan untuk mencari tujuan akhir dari apa yang ingin kita kaji, tetapi untuk menjadikan hal tersebut permulaan untuk selalu bertanya. – Toto