
“Dunia alami adalah dunia dengan keragaman dan kompleksitas yang tak terbatas, dunia multidimensi yang tidak memiliki garis lurus atau bentuk yang benar-benar teratur, di mana segala sesuatunya tidak terjadi secara berurutan, namun semuanya terjadi secara bersamaan; sebuah dunia yang mana seperti yang dikatakan fisika modern: bahkan ruang kosong pun melengkung.” – Fritjof Capra
Perkembangan industri yang semakin maju seperti dalam kenyataannya mengikis beberapa esensi kehidupan [1]. Esensi kehidupan tersebut adalah alam dan segala macam hal yang ada disekitarnya. Berdasarkan esensi kehidupan tersebut, manusia perlu menanyakan kembali esensi dari sebuah kata “ada”. Apakah “ada”nya manusia sekedar sebagai “ada”nya Descrates, yang menyatakan dengan lantang bahwa, “Cogito ergo sum” yang memiliki arti bahwa: “ketika aku berpikir maka aku ada”. Pernyataan Descrates tersebut jelas merupakan sebuah keegoisan tertinggi mahluk yang dinamakan sebagai manusia. Keegoisan tersebut merupakan hasil dari naluri primitif manusia yang dikatakan Nietzsche sebagai kehendak untuk berkuasa. Hubungan antara kehendak untuk berkuasa manusia dan “ada”nya Descrates jika dihubungkan maka menciptakan pola berpikir yang disebut sebagai antroposentrisme. Antroposentrisme adalah paham yang memandang bahwa manusia merupakan pusat dari segala sesuatu yang ada disemesta [2]. Gambaran terkait dengan antroposentrisme dapat dimunculkan dalam sebuah pertanyaan dasar, seperti: “jika ranting pohon kecil patah ditengah hutan tanpa manusia, apakah suaranya akan terdengar ?” tentu saja sebagian manusia akan menjawab, “tidak terdengar”. Jawaban tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa, “jika manusia tersebut tidak menyaksikan ataupun mendengar suara ranting tersebut patah, maka ranting tersebut tidak pernah patah dan bersuara”. Pada beberapa pertanyaan dan jawaban ini saja sudah jelas memunculkan sifat asli manusia yang egois. Keegoisan manusia kemudian berkembang menjadi sebuah kebiasaan yang destruktif, kebiasaan untuk selalu memusnahkan apapun yang ada, tidak hanya alam, manusia lain juga terkadang menjadi korban dari kebiasaan tersebut.
Kebiasaan untuk memusnahkan apapun yang ada tersebut, semakin tampak dari banyaknya pembukaan lahan secara besar-besaran dengan tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kekuatan yang saya sebut sebagai bentuk baru dari Neo Kolonialisme ini menargetkan penaklukan sumber daya alam sekaligus memarjinalisasikan gender wanita dalam segala bidang kehidupan, khususnya dalam bidang pekerjaan terhadap wanita yang kemudian memunculkan pemahaman terkait dengan kapitalisme patriarki [3]. Secara umum, keegoisan yang akhirnya merusak alam beralih menjadi keegoisan untuk mengorbankan manusia satu dan manusia lain [4]. Penaklukan atas alam dan dominasi atas alam tersebut, mencerminkan sikap manusia terhadap sesama manusia yang ingin saling menguasai dan medominasi satu sama lain.
Keegoisan manusia pada akhirnya bermuara pada lingkungan hidup yang rusak. Lingkungan hidup sebagaimana dalam frasa yunani disebut sebagai οίκος (oíkos) hanya dipahami manusia saat ini sebagai tempat tinggal atau tempat mendirikan rumah semata. Banyak dari manusia saat ini yang belum sanggup memahami arti kata tempat tinggal atau lingkungan hidup secara universal yang mana dimaksudkan sebagai semua yang ada di alam semesta dan segala interaksi yang saling mempengaruhi di antara semua bentuk kehidupan serta dengan seluruh ekosistem atau habitatnya [5]. Jadi, lingkungan hidup tidak hanya mencakup lingkungan fisik tetapi juga kehidupan yang hidup dan berkembang di dalamnya termasuk binatang, tumbuhan, air, tanah dan sebagainya. berdasarkan hal ini, maka dapat dipahami bahwa manusia pun hanya satu entitas dalam kesatuan besar (great continuum) dari keseluruhan semesta alam.
Manusia merupakan salah satu entitas paling egois, yang menganggap bahwa dirinyalah yang paling berwenang dan berkuasa atas semesta beserta se-isinya.
REFERENSI:
[1] T. Wiedmann, M. Lenzen, L. T. Keyßer, and J. K. Steinberger, “Scientists’ warning on affluence,” Nat Commun, vol. 11, no. 1, p. 3107, Jun. 2020, doi: 10.1038/s41467-020-16941-y.
[2] L. Weir, Philosophy as Practice in the Ecological Emergency: An Exploration of Urgent Matters. Cham: Springer International Publishing, 2023. doi: 10.1007/978-3-030-94391-2.
[3] R. Bahlieda, The Economic Gulag: Patriarchy, Capitalism, and Inequality. Peter Lang US, 2018. doi: 10.3726/b13333.
[4] M. Mies and V. Shiva, Ecofeminism (Critique Influence Change). New York: Zed Books, 2014.
[5] L. Bacchini and V. Saramago, Literature Beyond the Human. New York: Routledge, 2022. doi: 10.4324/9781003243991.